Awal penemuan tempe menjos sebagai bahan makanan yang bisa dikonsumsi oleh manusia tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi sekarang kita bisa menyaksikan sendiri tempe menjos adalah salah satu pelengkap jajanan gorengan yang banyak dijual. Taktik yang digunakan oleh penjual gorengan bisa diacungi jempol alias jitu yaitu dengan menggoreng tempe menjos duluan sebelum menggoreng yang lainnya seperti pisang goreng, weci, tempe goreng, tahu isi, jemblem, tape goreng, sukun goreng, lento, telo goreng, singkong goreng, dan yang lainnya. Mengapa? Karena kalau digoreng lebih awal maka kemungkinan laku juga lebih tinggi dan keuntungan yang diperoleh juga lebih banyak. Dengan modal Rp 2.000 (untuk membeli menjos dan membuat adonan) penjual sudah bisa membuat 10-12 potong menjos dengan harga per potong Rp 500,-. Kami yakin anda bisa menghitung sendiri keuntungan yang bisa diperoleh si penjual.
Hanya mengambil contoh satu kasus saja,
kita rasanya sudah mengetahui bagaimana potret peternakan kita
dibandingkan dengan negara-negara lain. Kami mengetengahkan masalah ini
agar kita melek mata dan berusaha untuk berbenah diri. Anda tentunya
masih ingat artikel yang pernah kami turunkan dengan judul “flying
system” yang mana itu adalah sebagian potret kecil peternakan kita. Nah,
berikut akan kami sampaikan sedikit potret peternakan kita sepanjang
pengetahuan kami dan bagi siapa saja yang ingin menambah isi artikel ini
bisa diberikan pada komentar.
Sifat malas, usaha sedikit dengan hasil melimpah
alias maksimal adalah sudah mendarah daging di masyarakat kita. Kita
bisa melihat pada kinerja para pekerja kita di kandang, mengapa mereka
kerja secara asal-asalan dan semaunya sendiri. Kalau ada yang punya
usaha (bos) seolah-olah rajinnya nggak terukur akan tetapi kalau tidak
ada pemilik usaha tidur mendengkur di pojok kandang. Akan tetapi semua
itu bukan semata-mata kesalahan anak kandang 100%, pemilik usaha juga
mesti introspeksi mengapa hal tersebut terjadi. Pemilik usaha jangan
pernah menganggap para pekerja adalah budak atau buruh tapi anggaplah
mereka sebagai mitra kerja kita dengan memperhatikan kesejahteraan
mereka juga. Kalau kita telah melakukan itu akan tetapi pekerja memang
tipe pemalas maka tidak ada kata lain kecuali merumahkan mereka alias
memecatnya. Sebuah renungan “bagaimana kalau ketika hari raya pekerja
anda tidak mau bekerja”, kalau ternak ayam yang kita punya hanya
berjumlah 100-1000 mungkin tidak masalah, kalau ternak kita berjumlah
puluhan ribu tentu akan menjadi satu masalah besar.
Nepotisme, kami yakin semua orang sudah paham apa
arti dan hakekat nepotisme. Nepotisme boleh-boleh saja akan tetapi
kalau yang kita rekrut sebagai pegawai atau pengelola peternakan kita
adalah orang yang pemalas, daya kreatifitas rendah dan punya sifat ABS
(asal babe senang) maka kuranglah bijak. Mendahulukan kerabat dalam hal
pembagian rezeki memang ditekankan oleh ajaran agama, akan tetapi kalau
hal itu nantinya akan menjadi salah satu sebab yang membuat usaha kita
tidak berkembang bahkan bangkrut maka perlu dipikirkan ulang. Kalau yang
kita rekrut dari kerabat dekat akan tetapi mempunyai potensi untuk
dididik dan tipe pekerja keras maka itu tidaklah masalah.
Manajemen usaha, kalau kita mau mengelola sesutu
tentu yang kita pikirkan adalah bagaimana mengatur usaha agar bisa
seefisien mungkin. Suatu usaha tanpa manajemen yang bagus hanya tinggal
menunggu waktu bangkrutnya saja. Manajemen usaha memegang peranan
penting dan kurang lebih 50% keberhasilan suatu usaha ditentukan oleh
factor bagaimana kita memanagemen usahakita. Kebanyakan dari kita masih
memegang prinsip “yang penting jalan dulua” masalah managemen usaha
urusan belakangan. Apa yang terjadi kemudian? Usaha tersebut berjalan
berjalan apa adanya tanpa proses perencanaan, pelaksanaan rencana,
control usaha dan evaluasi usaha. Kita belum atau tidak sadar bahwa
banyak usaha yang bangkrut dikarenakan salah dalam menerapkan manajemen
atau manajemen usaha yang semrawut dan berlangsung cukup lama.
Manajemen usaha bidang peternakan meliputi masalah pakan yang
sebenarnya adalah sebuah masalah klasik dan dari dulu keluhan peternak
adalah masalah pakan yang harganya terus melambung. Apakah masalah pakan
tidak bisa disiasati dengan mencampur atau meramu sendiri? Kandang ternak
tentu anda bisa lihat sendiri bagaimana peternak menyediakan kandang
untuk ternaknya. Kalau ada ayam yang tidur di pohon, atau sapi yang
tidur di dekat kebun-kebun itulah peternak kita. Bibit ternak, budaya
mendapatkan bibit ternak dengan harga murah masih melekat di masyarkat
kita. Tidak pernah mikir bagaimana tingkat pertumbuhan ternak tersebut,
atau tingkat produktivitas ternak tersebut, yang dikedepankanhanya
murah. Pengendalian penyakit, pernah melihat orang di
kampung-kampung melakukan vaksinasi untuk ternaknya? Mungkin kita akan
sepakat belum pernah melihatnya atau seikit sekali yang melakukan.
Jalur pemasaran, semakin pendek jalur pemasaran maka
keuntungan kita akan semakin besar. Memangkas jalur pemasaran akan
menguntungkan semua pihak. Konsumen akan mampu menikmati produk kita
dengan harga yang murah dan kita sudah mendapatkan keuntungan yang
cukup. Mengapa produk peternakan kita masih mahal? Mengapa produk
peternakan negara lain yang ada di negara kita harganya bisa lebih murah
dari produk lokal? Salah satu jawabnya adalah panjangnya jalur
pemasaran di pasar kita dan masih besarnya biaya produksi.
Penerapan ilmu dan teknologi, peternak di luar
negeri rata-rata termasuk masyarakat yang gampang menerima dan
mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Mereka sadar teknologi
akan membawa perubahan baru meskipun tidak secara langsung. Mereka sadar
laju pertumbuhan dan perkembangan ternak tidak sebanding dengan tingkat
kebutuhan manusia akan bahan pakan asal ternak. Oleh karenanya mereka
yakin ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang ditemukan akan membawa
perubahan hasil. Teknologi dalam bidang peternakan yang sudah ada antara
lain Inseminasi Buatan (IB) baik pada ternak ruminansia atau unggas,
teknologi pakan (silase, fermentasi, permen sapi), laser akupunctur,
kawin silang, transfer embrio dan masih banyak paket teknologi yang
telah ditemukan dan belum diterapkan.
Pemikiran lama, mungkin dari kita pernah mendengar
perkataan “Ala mas, dengan cara beternak seperti ini saja ternak sudah
bisa berproduksi kok” atau “ngapain repot-repot dengan sesuatu yang
hasilnya belum jelas”. Sebuah pemikiran klasik yang masih menancap dalam
sebagian masyarakat peternak kita yang kadang sulit untuk mengubahnya.
Makanya tak heran kalau disebagian sentra peternakan kita dapati cara
beternak yang sangat tidak layak padahal daerah tersebut menjadi contoh
daerah lain.
Peran dinas atau instansi terkait, Ilmu pengetahuan
seperti cara beternak yang benar tidak akan sampai kepada masyarakat
lapisan bawah kalau tidak ada peran lembaga atau dinas terkait. Oleh
karenanya tidak akan berguna sama sekali ilmu pengetahuan dan teknologi
kalau peran dari dinas kurang berfungsi . Masyarakat dapat menerima
ilptek baru bisa melalui bimbingan dari dinas terkait atau belajar
secara sendiri. Sebagai contoh orang yang belajar kawin suntik pada
unggas dia berhasil mengawinsilangkan itik dengan enthok dan hasilnya
bisa kita lihat sekarang. Banyak orang yang memburu tiktok akan tetapi
produk tidak ada. Kalau hal ini kita sosialisaikan maka akan banyak
orang bisa mengambil manfaat dari hal tersebut
Mahalnya biaya pelatihan, sangat wajar kalau
mengikuti pelatihan atau untuk memperoleh ilmu baru membutuhkan biaya
yang kadang cukup mahal karena untuk melakukan penelitian sehingga
diperoleh ilmu atau temuan baru juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Tetapi anehnya, masyarakat kita kalau disuguhi dengan yang
gratis mereka menyangsikan akan kebenaran ilmu tersebut. Sebagai contoh
kami pernah membuka training gratis secara on-line masalah peternakan,
tetapi hasilnya sangat mengecewakan kami. Peserta tidak lebih dari 10
orang per petemuan dan semakin berkurang sampai akhirnya kami pun
menutup training tersebut sekitar 2-3 bulan kemudian. Mungkin yang
diinginkan masyarakat kita adalah kita datang ke tempat mereka, tidak di
bayar, di ajari sampai bisa dan kalau berhasil kita dilupakan. Mengapa
tidak ada kesadaran dari masyarakat peternak bahwa mereka butuh
teknologi dan ilmu baru dalam beternak? Mengapa Dinas terkait yang mesti
keluyuran ke desa-desa dengan program Sarjana Membangun Desa (SMB) dan
penyuluh lapangan atau Tenaga Lepas Harian (TLH) nya? Bisa disimpulkan
bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang malas dan lambat dalam
mengadopsi teknologi.
Mungkin itu adalah sekilas sebagian gambaran atau potret peternakan
yang ada disekitar kita. Maka apakah yang menghalangi kita untuk berubah
kepada yang lebih baik? Apakah yang menghalangi kita untuk mencoba cara
beternak model baru yang lebih modern? Apakah yang menghalangi kita
untuk menerapkan teknologi yang berkembang untuk kemajuan ternak dan
usaha kita? Renungkan wahai peternak dan mari berbenah secara
bersama-sama!!!
Anda dapat mencopy isi artikel ini sebagian atau seluruhnya dengan menyebutkan sumbernya : www.sentralternak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar